virqinf. Diberdayakan oleh Blogger.

Bahasa Hujan

>> Selasa, 08 Juni 2010


Sore itu, Kira menatap bulir-bulir air yang menetes di jendela. Seperti biasa. Ia sangat menyukai hujan dan bau basah yang ditimbulkannya. Rintik hujan selalu memberikan nuansa tersendiri baginya, sebuah orkestra alam yang sempurna. Kesejukan yang ia temukan dalam hujan sama seperti kesejukan yang ia tangkap dalam pancaran mata Faris.
Hampir enam bulan ia mengenal Faris. Atau lebih tepatnya sekadar tahu. Kira pertama kali melihatnya berdiri di barisan upacara saat peringatan hari ulang tahun sekolahnya berlangsung dan sejak itu mereka sering berpapasan. Tapi sekali lagi, Kira hanya tahu tentang Faris dan mungkin tidak berlaku sebaliknya. Bahkan ia tak peduli apakah dirinya selama ini terlihat oleh Faris, sosok yang begitu ia kagumi.


Simfoni sunyi

Andai kau tahu
Di kamar kosong ini
Aku mengingatmu...

Terang cahaya tak seberapa kilaunya
Menyendiri dalam keterasingan
Menutup diri dari kebisingan

Andai kau tahu
Aku hanya berteman dengan musik
Malam ini
Bait-bait kususun rapi
Lirik-lirik kutulis untukmu

Andai kau dengar
Lagu yang kunyanyikan ini
Adalah tentang kisahku
Yang tak lelah menanti dirimu
Membuka hati untukku...

Semarang, 2 April 2008


Guntur bersahutan seakan membuyarkan lamunan Kira. Ia mendesah pelan. Ada kegundahan yang tersimpan dalam hatinya. Faris. Nyaris membuatnya gila.
Belum pernah sekalipun mereka bertegur sapa apalagi berbincang-bincang. Kira tidak bisa memastikan apakah sinyal-sinyal yang ia kirimkan sudah diterima oleh Faris atau belum. Ia sendiri tidak ingin memastikan. Biarlah semuanya tetap begini. Ia ingin mencintai Faris dalam diam. Memandanginya dari kejauhan sementara banyak gadis seusianya yang coba mendekat pada anak itu. Ia tahu seberapa kecil kemungkinan untuk dapat merengkuh hati Faris mengingat ia tidak lebih istimewa dibanding cewek-cewek yang lain.
Kira sering merasa bahwa Faris terlalu jauh untuk digapai tapi nyatanya sampai sekarang ia belum mampu menghentikan perasaan tersebut. Sudah lama rasa itu mengendap dan sulit sekali dimusnahkan. Baginya, mengejar Faris sama halnya dengan mengumpulkan tetes-tetes hujan. Bisa dilakukan tapi lama diselesaikan.
Ada satu keinginan yang ingin Kira wujudkan. Menyatakan apa yang selama ini memenuhi hatinya. Namun, segera ditepisnya keinginan tersebut. Ia sadar betul betapa sulit berbicara pada Faris. Selain tak ada kesempatan ia juga tak punya keberanian. Kira sebenarnya bukan anak pemalu hanya saja bibirnya selalu mengatup rapat ketika berhadapan dengan Faris. Huruf-huruf seakan hilang begitu saja dari ingatannya. Berulang kali hal itu terjadi membuat Kira urung melakukannya lagi.
Kira tersiksa oleh batinnya sendiri. Setengah tahun ia menahan dan hatinya hampir tidak kuasa membendung kata-kata yang ingin ia sampaikan. Sudahlah. Ia lelah bermonolog dengan dirinya sendiri. Mustahil. Mungkin selamanya Kira akan tetap begini. Memandangi Faris dari kejauhan dan mengulum senyum untuk dirinya sendiri. Selamanya.


semu
Haruskah aku mengubur perasaan ini?
Tatkala lilin yang kunyalakan
Berubah menjadi api...

Bukankah Mesir dan Nil telah mengajarkan
Bahwa setiap manusia memiliki jodohnya masing-masing

Tapi...
Aku hanyalah seorang iblis
yang menatap penuh harap
pada malaikat di atas sana
dia, yang memberiku serpihan cinta
yang meluluhlantakkan jiwaku
hingga kumenjadi derita

Untuk kesekian kali
Rintik hujan padamkan apiku
Dan kini diriku telah pupus

Kasih... aku kembali
Tanpa apa-apa
Tanpa siapa-siapa

Semarang, 1 Maret 2008

♣•

Sekolah mendadak sepi walaupun bel pulang baru saja berbunyi. Semua orang bergegas pulang agar tidak kehujanan. Mendung menutupi langit artinya sebentar lagi Tuhan akan menumpahkan berkah-Nya ke bumi. Sebentar lagi pepohonan akan mengucap syukur yang hanya bisa didengar oleh para malaikat.
Sementara itu Kira melangkah ke halaman. Ia memutuskan untuk menunggu hujan reda. Lagipula banyak angkutan umum yang melewati rute lain untuk menghindari jalanan di depan sekolahnya yang cepat tergenang banjir bila hari hujan. Ia duduk sendiri di kursi panjang di tepi lapangan. Dihirupnya bau hujan yang selalu ia rindukan.
Samar-samar dilihatnya seseorang di tengah lapangan dengan perawakan yang ia kenal. Itu Faris. Faris yang sedang berlari ke arahnya. Jantung Kira berdegup cepat saat laki-laki itu ikut berteduh di sampingnya.
Faris tersenyum.
“Belum pulang?” tanyanya. Kira menggeleng.
“Nunggu reda juga?” Kira mengangguk.
Dalam jarak sedekat ini Kira bisa mengatakan apapun pada Faris tanpa diganggu siapapun. Mereka hanya berdua, terjebak dalam hujan yang semakin deras. Namun, sama sekali tak ada nyali yang ia miliki. Suaranya lagi-lagi menghilang secara tiba-tiba.
“Namamu Kira kan?” tanya Faris. Sungguh Kira tidak menyangka namanya ternyata diketahui oleh Faris. Ia pun memberanikan diri untuk menjawab selain dengan anggukkan maupun gelengan kepala.
“Iya, kamu Faris kan?”
“Masa kamu nggak tahu, kita sering ketemu, kok.”
“Oh, ya?” Kira pura-pura tidak menyadari. Rasa gugup yang menyerang membuatnya tak mampu mengucapkan kalimat-kalimat panjang. Dan ia merasa semakin jauh. Dirinya tidak pantas untuk seorang Faris yang ramah, tegas, dan berjiwa pemimpin. Ia mungkin terlihat secara kasat mata tapi perasaannya tetap saja belum terbaca.


Amunisi

Di bawah gerimis
Air mataku luruh satu-satu
Ingin aku berkata
Aku sangat lelah...

Memburu sesuatu yang sesungguhnya semu
Mencari seseorang yang benar-benar
Ingin kutemui

Orang itu bernama kau

Sekian lama aku menanti
Dan... aku kehabisan amunisi
Tak ada lagi yang kugenggam
Selain cinta

Kini entah bagaimana caranya
Aku menjadikanmu sasaran tembak

Semarang, 3 April 2008


Percakapan itu terhenti oleh kilat dan guntur yang menyambar-nyambar. Kira menatap Faris dari pucuk bola matanya. Entah kenapa ia ingin sekali menyatakan perasaannya saat itu juga. Ia takut jika terpendam makin lama, ia akan jadi benar-benar gila. Dan inilah waktu yang disediakan Tuhan juga hujan padanya.
“Faris,” panggilnya. Faris menoleh pada Kira.
“Aku suka kamu.”
Kata-kata itu meluncur dengan lancar persis ketika halilintar menggelegar.
“Ada apa Kira? Aku tidak mendengarmu dengan jelas,” jawab Faris.
Kira malah senang mengetahui hal itu. Ia tidak perlu takut mengatakan apa saja sepanjang suara hujan dan halilintar menguasai pendengaran mereka.
“Aku suka senyummu, tawamu, sedihmu, rona wajahmu, dan semua yang ada pada dirimu. Selama ini aku hanya memandangmu dari jauh dan aku sudah sangat bersyukur bisa melakukannya setiap waktu. Aku tidak perlu memilikimu sebab cukup dengan begitu rasa cintaku akan terus merekah untukmu.”
Faris mengerjapkan mata tanda belum paham apa yang barusan dikatakan oleh Kira padanya. Sementara itu perlahan hujan mereda dan Kira bersiap untuk pulang, tak peduli pada Faris yang masih terlihat kebingungan. Ia jelas tidak perlu mengulang pengakuannya tadi. Yang penting hatinya kini jauh lebih lega. Biar hujan yang menerjemahkan bahasa hatinya. Kira yakin suatu saat Faris akan mendengar semua yang ia sampaikan.
Semenjak itu, Kira makin menyukai hujan sebab rintik hujan akan senantiasa mengingatkan dirinya pada seseorang yang takkan membuatnya alpa.
Faris.
Dan senyumnya.


Hujani Aku

Hujani aku dengan puisi
Agar mampu kuterjemahkan bahasa hati
Hujani aku dengan sajak berlagu
Agar ku mampu menafsirkan rindumu

Semarang, 9 Februari 2010






Semarang, 18 Februari 2010
oleh Lavinia Disa terinspirasi dari pengalaman ku..^^

1 komentar:

ma langue 8 Juni 2010 pukul 04.46  

dengan sedikit perubahan

Posting Komentar

  © Blogger template Werd by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP