virqinf. Diberdayakan oleh Blogger.

Untuk Seorang Pengumpat

>> Minggu, 20 Juni 2010

Entah mengapa Dinda selalu merasa iri jika melihat keceriaan temannya ketika bercerita tentang keluarga mereka. Betapa hangat dan akrabnya. Kehangatan yang jarang, bahkan tidak pernah ia rasakan. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pemabuk sudah menjadi rahasia umum di kompleks tempat tinggalnya. Dia, ibu, dan adiknya hanya bisa pasrah dean berdoa agar ayahnya segera sadar. Tapi rasanya semua itu sia sia karena semakin hari kelakuan Ayah Dinda semakin menjadi. Ingin rasanya Dinda lari dari rumah. Dia sudah tidak tahan dengan suasana di rumahnya. Ketenangan di rumahnya selalu lenyap jika ayahnya datang dalam keadaan mabuk, marah-marah, lalu ujung ujungnya memukuli bundanya. Pernah terbersit di pikiran Dinda seaindainya saja ia tidak punya ayah, seandainya saja ayahnya mati. Jika pikiran gila itu mulai hadir dibenaknya, maka Dinda hanya bisa cepat cepat beristighfar. Sebenci apapun ia dengan ayahnya, orang itu tetaplah ayah kandungnya.

Serupa Sampah
menyusut hatiku untukmu
mengkerut hormatku padamu
dingin
dan kamu serupa hama
sampah
bahkan aku benci baumu
suaramu polusi hati
siapa kamu
tak ada dalam pikirku memanggilmu :
ayah


-o-

Malam Senin, Dinda sedang belajar untuk UAS esok hari. Dia mendengar suara ribut dari kamar orangtuanya. Dinda menghela napas. Huh, lagi lagi hal itu terjadi di rumahnya. Konsentrasinya buyar seketika. Pandangannya kosong tertuju pada sebuah foto dalam pigura cantik di meja belajarnya. Foto yamng diambl beberapa tahun silam, sebelum dia memiliki seorang adik. Dulu sewaktu ia masih menjadi anak tunggal, kehidupan keluarganya belum sekacau sekarang. Walaupun waktu itu ayahnya telah menjadi seorang pemabuk, tapi tidak separah saat ini. Dulu ayahnya jarang berkata kotor di depan Dinda . Tapi sekarang semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Ayahnya hampir setiap hari pulang dalam keadaan maabuk dan sering sekali memukuli bundanya. Dinda, bunda, bahkan adiknya menjadi sasaran empuk kata kata kasar ayahnya tiap kali marah.

Umpatan
sudah muak aku merasai
kebencian memuncak dari hari ke hari
dan kamu masih tetap serupa sampah
hina
seperti umpatan yang kamu cecarkan
ialah cerminan dari dirimu sendiri
tangan iblis dan mulut setan itu
telah bersiap malaikat mengganjarnya
di alam yang pasi kita lalui
pembalasan untukmu
atas derita kami

Lamunan Dinda buyar ketika didengarnya isak tangis dari kamar orangtuanya. Bundanya menangis. Dinda memberanikan diri untuk keluar dan menghampiri bundanya. Dipandanginya sekelililng kamar. Ayahnya telah pergi rupanya.
“Ada apa lagi, Bunda?” tanya Dinda mendekat dan mengusap airmata Bundanya.
Menggeleng dan menghela napas, hanya itu yang dilakukan Bundanya, selalu begitu tiap kali Dinda tanyakan apa yang terjadi.
“Bohong kalau tidak ada apa apa, lalu mengapa Bunda menangis?”
“Tidak apa apa ,Nak”, ujar Bundanya sembari mengelus pucuk kepala Dinda.
“Nak, Bunda boleh bicara sesuatu?”
Belum sempat Dinda menjawab, Bundanya sudah melanjutkan,
“Ayahmu minta cerai, nak. Dia mau menikah lagi”
Jujur sebenarnya Dinda tidak kaget mendengar berita itu. “Lalu bunda bilang apa?”, tanyanya.
“Bunda bilang kalau itu memang sudah keputusan ayah dan ayah akan merasa bahagia jika bunda mengnijinkan, maka bunda pun akan berbahagia dengan keputusan itu”.
“Jadi bunda perbolehkan?”, Dinda heran.
“Ya, Nak:.

Hapus Dia
Tak perlu tangismu untuknya, Bunda
Dia yang bahkan tak sudi kuingt wajahnya
Dia yang mulutku enggan berkata : Ayah
Hapus airmatamu , Bunda
Biar dia berTuhankan kesesatan
Biar dia berkiblatkan tempat pelacuran
Bukan salahmu , Bunda
Dia hanya pecundang
Kami pun tidak butuh dia
Kami, aku dan adikku,
seluruh hidup kami
untukmu, Bunda


---o---

Lima bulan berlalu sejak perceraian ayah dan bundanya, sejak saat itu pula mereka pindah dan tinggal di rumah nenek Dinda. Kehidupanyya menjadi lebih tenang sekarang, ternyata memang benar keputusan Bundanya untuk melepas sang ayah.
Begitu kagum Dinda akan sosok bundanya, wanita mungil yang setia dan tidak menuntut apa apa. Pernah suatu ketika Dinda bertanya apa yang membuat Bundanya bertahan menghadapi ayahnya. Sambil tersenyum sang bunda menjawab,” Cinta, Nak. Cinta yang menguatkan Bunda. Cinta yang membuat Bunda bahagia apapun keadaannya Ayah, cinta 7yang menerbitkan senyum dan ketegaran Bunda. Bunda bahagia bila Ayahmu bahagia , Nak. Dan walaupun dia tidak berbahagia untuk Bunda.”
“Cinta tidak perlu dikatakan, cukup hanya dibuktikan”

Nyanyian Bulan
kupandangi surgaku di telapakmu
kucium bau suksesku di nafasmu
aku hanyab serupa debu
jika tak kau rawat aku
tak ada padaku kebahagiaan
jika sayu matamu
dan bulan bernyanyi lrih
menyuarakan kasihmu
sedang aku di sini bersenandung
memuji sosokmu
Bunda

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template Werd by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP